Menyalakan Obor di Era Digital dan Refleksi Hari Guru Nasional di Tengah Generasi Z

By Administrator 12 Nov 2025, 14:59:35 WIB Pendidikan
Menyalakan Obor di Era Digital dan Refleksi Hari Guru Nasional di Tengah Generasi Z

Setiap tanggal 25 November, bangsa Indonesia mengarahkan fokus dan apresiasinya kepada satu profesi yang esensial: guru. Hari Guru Nasional (HGN) kembali hadir, bukan sekadar sebagai penanda kalender, melainkan sebagai momentum untuk merenung dan mengapresiasi mereka yang mendedikasikan hidup untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Julukan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" mungkin terdengar klasik, tetapi relevansinya tidak pernah lekang oleh waktu. Di balik dinding ruang kelas—baik fisik maupun virtual—perjuangan para guru terus berevolusi, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman yang kian kompleks.

Penetapan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional bukanlah tanpa alasan historis yang mendalam. Akarnya terentang jauh sebelum kemerdekaan, dimulai dari era kolonial Belanda. Pada tahun 1912, para guru pribumi mendirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) sebagai wadah perjuangan untuk kesetaraan dan pendidikan yang layak bagi kaum bumiputra.

Semangat PGHB ini terus menyala dan bertransformasi. Setelah sempat berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932—sebuah langkah berani yang menyiratkan semangat nasionalisme—organisasi ini terpaksa vakum selama masa pendudukan Jepang yang melarang segala bentuk organisasi.

Kini, di era milenium ketiga, perjuangan guru telah bergeser dari melawan kebodohan akibat kolonialisme, menjadi perjuangan menavigasi era disrupsi digital. Jika guru di masa PGRI berjuang dengan keterbatasan fisik, guru saat ini dihadapkan pada tantangan psikologis dan teknologis yang unik.

Mereka kini mengajar Generasi Z (Gen Z), generasi digital native yang tumbuh dengan gawai di genggaman. Informasi bukan lagi barang langka; ia melimpah ruah di internet. Tantangan guru tidak lagi hanya "memberi tahu", tetapi "memberi makna".

Siswa Gen Z memiliki rentang perhatian yang berbeda, terbiasa dengan konten visual cepat (seperti TikTok atau Reels), dan sangat terhubung secara sosial (meski secara virtual). Mereka kritis, cepat bosan, dan membutuhkan relevansi langsung antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata mereka.

Sebagai contoh nyata di keseharian, seorang guru kini tidak bisa hanya mengandalkan metode ceramah satu arah. Ketika guru sedang menerangkan konsep sejarah, bisa jadi siswa di bangku belakang sedang "memeriksa fakta" secara langsung melalui Google, atau bahkan terdistraksi oleh notifikasi media sosial yang baru saja masuk.

Guru modern dituntut menjadi fasilitator yang lincah. Mereka harus bersaing dengan algoritma untuk mendapatkan atensi siswa. Penguasaan teknologi seperti platform pembelajaran digital, aplikasi kuis interaktif, atau bahkan kemampuan mengedit video pembelajaran sederhana, kini menjadi kompetensi dasar, bukan lagi sekadar nilai tambah.

Lebih jauh dari sekadar transfer ilmu, tantangan terbesar adalah pembentukan karakter. Di tengah gempuran informasi dan tekanan sosial media, banyak siswa Gen Z menghadapi isu kesehatan mental, krisis identitas, dan tantangan cyberbullying. Guru kini sering kali harus berperan ganda sebagai konselor dan mentor.

Refleksi ini membawa kita pada kenyataan bahwa tugas guru saat ini jauh lebih berat. Mereka tidak hanya harus mengajar kurikulum, tetapi juga harus mengajar cara belajar, memfilter informasi (literasi digital), dan membangun ketahanan mental (resiliensi) pada siswa.

Di sinilah kesadaran semua pihak menjadi krusial. Bagi orang tua, Hari Guru Nasional adalah pengingat bahwa pendidikan adalah ekosistem yang membutuhkan kolaborasi. Orang tua tidak bisa menyerahkan seluruh proses "mendidik" karakter anak hanya kepada sekolah. Komunikasi aktif antara rumah dan sekolah adalah kunci keberhasilan pendidikan Gen Z.

Bagi masyarakat, kita harus mengembalikan marwah guru sebagai teladan. Di era keterbukaan informasi, profesi guru rentan dihakimi secara instan. Masyarakat perlu secara sadar memandang guru sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban, bukan sekadar "pekerja" yang bisa dituntut sempurna. Menghargai guru berarti menghargai masa depan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025. Kepada seluruh guru di penjuru negeri, terima kasih atas kesabaran yang tak terhingga, adaptasi yang tak kenal lelah, dan cinta yang tulus dalam menyalakan obor pengetahuan. Perjuangan Anda hari ini sedang membentuk pemimpin masa depan Indonesia.

#JurnalistikSMALA




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment